Jumat, 08 Juni 2012

Pembelajaran IPA secara Holistik

Pembelajaran IPA secara Holistik di Tingkat SD/MI


Pembelajaran IPA Secara Holistik adalah penulis mencoba ber-ide, mencoba untuk keluar dari konteks pembeicaraan pada modul yang sudah penulis baca yaitu tentang “Konstruktifisme dalam Pembelajaran IPA, Bekerja Ilmiah dalam IPA, Pendekatan Pembelajaran Sains (IPA) Teknologi dan Masyarakat/Lingkungan (STM). Dan penulis berkesimpulan bahwa intinya adalah sama yaitu menjadikan siswa sebagai subyek pembelajaran, memberdayakan siswa, membelajarkan siswa dan istilah kostruktif lainnya.
Pembelajaran yang bersifat menjadikan siswa sebagai subyek pembelajaran membawa situasi kelas dipenuhi oleh kegiatan dimana siswa adalah pelaku dari berbagai kegiatan baik eksperimen, demonstrasi, diskusi dan sebagainya. Memberdayakan siswa maksudnya adalah guru bertugas menggali seluruh potensi siswa tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, perbedaan tingkat IQ, dan perbedaan yang lainnya. Membelajarkan siswa adalah suatu kegiatan yang menempatkan siswa yang sedang belajar. Istilah konstruktif lainnya adalah CTL, CBSA, Quantum Teaching, dan beberapa nama keren lainnya. Padahal esensinya sama yaitu siswa adalah subyek pembelajaran.
Pembelajaran Holostik pada mata pelajaran IPA membawa guru pada suatu kondisi pembelajaran yang bersifat konstruktif. Maka yang dapat melakukan hal ini adalah guru yang berpandangan konstruktif. Siapa mereka ? Mereka yang sadar bahwa siswa akan belajar optimal jika semuanya berawal dari keinginan siswa untuk belajar. Sehingga kita akan mengkondisikan kelas sedemikian rupa agar siswa mau belajar. Bukan karna paksaan. Apakah hal ini mudah ? Tentu tidak karna kita berhadapan dengan puluhan kepala yang isi kognitif, afektif, psikomotor dan datang dari latar belakang yang beragam. Kita pasti sepakat bahwa mencari yang baik pasti sulit.
Pembelajaran IPA dengan pendekatan yang holistik sesungguhnya adalah positif yaitu guru tidak akan pernah terbebani dengan jenis dan batasan metode yang mesti dilakukan dan ditulis dalam RPP. Kita menyiapkan bahan, media dan masuk ke kalas dan melakukan apersepsi. Lihat kondisi kelas apakah sudah kondusif ? Kalau belum berikan motivasi dengan berbagai cara yang kreatif apakah itu cerita, permainan, menyanyi, diskusi dan tanyakan masalahnya apa. Disanalah gunanya pendekatan yaitu untuk mendekati siswa agar mau belajar. Caranya ya terserah guru itu sendiri. Lalu pertanyaannya bagaimana dengan alokasi waktu yang membatasi di RPP ? Abaikan dulu hal tersebut karna RPP itu adalah rencana, dimana kalau tidak tercapai adalah hal biasa karna kadang situasi kelas tidak sesuai dengan harapan.
Jika siswa sudah mau belajar lanjutkan dengan kegiatan yang mengedepankan siswa sebagai subyek yaitu dengan memberikan tugas. Tugas yang diberikan adalah yang bersifat konstruktif bukan memberi beberapa soal lalu guru meninggalkan kelas. Pada IPA dapat diberikan berupa sekumpilan tugas yang bersifat berkelanjutan seperti proyek. Langkahnya dari mereka merencanakan, melaksanakan hingga melaporkan. Misalnya siswa kita belajarkan tentang perkembangbiakan tumbuhan maka mereka akan merencanakan menyediakan bahan seperti bibit dan alat alat pertanian. Pelaksanaan dapat dilakukan di kebun sekolah. Setelah kegiatan selesai siswa ditugaskan untuk mengamati perkembangan dari tanaman setelah ditanam dan hasil pengamatannya dilaporkan kepada guru.
Dengan model seperti itu kita tidak dapat mengatakan kita melakukan pembelajaran dengan metode dan pendekatan tertentu akan tetapi menyeluruh sehingga penulis istilahkan sebagai pendekatan holistik. Semua materi pembelajaran IPA lainnya dapat mengadopsi pendekatan tersebut karna guru tidak lagi berfikir tentang batasan metode apa yang akan mereka gunakan akan tetapi mereka berfikir akan di apakan siswa kita. Guru dalam membelajarkan siswa tidak perlu mengingat batasan pengertian suatu metode akan tetapi cukup dengan mengingat bahwa siswa kita akan diapakan agar dapat belajar efektif.
Permasalahan sebenarnya adalah ada pada paham yang dianut guru tersebut. Apabila guru tersebut tidak berfikiran terbuka, behavioristik dan konservatif maka walaupun mereka mengenal istilah dan batasan berbagai metode maka yang terjadi adalah situasi pembelajaran yang dipaksakan karna guru dalam hal ini masih berkeingingan untuk dominan. Guru tidak berfikir apa yang akan siswa dapatkan jika pembelajarannnya seperti ini akan tetapi mereka akan berfikir bagaimana mengajar mereka agar mengerti. Sehingga jika siswa gagal dalam evaluasi yang disalahkan adalah siswa. Jika guru berfikir seperti yang pertama di atas maka guru akan berkata “Wah ada yang salah dengan saya”. Hal itulah yang membedakan guru yang berpaham behavioristik dengan guru yang menganut paham konstruktifistik.
Jalan keluar yang mungkin kita harus coba bersama untuk mengatasi masalah tersebut adalah :
1. Berfikirlah bahwa siswa adalah yang akan belajar.
2. Berfikirlah bahwa siswa dapat belajar jika mereka mau belajar
3. Berfikirlah bahwa siswa dapat belajar jika ada bahan yang akan dipelajari
4. Jika gagal lakukan refleksi
5. Belajar yang baik adalah bersama-sama karna akan saling isi mengisi
6. Berfikirlah bahwa guru bukan untuk ditakuti akan tetapi disegani
7. Hindari pemikiran guru selalu benar.
8. Jadikan siswa menjadi teman bukan murid.
9. Berdirilah disampingnya saat membimbing bukan berkacak pinggang di depannya.
10. Kalau guru kesal dan marah berikan arahan dan posisikan diri sejajar dengan siswa terlebih dahulu baru kemudian berikan pesan.
11. Kesimpulannya adalah jadilah guru yang manusiawi
Dengan menerapkan metode holistik apakah kemudian menjadi salah karna alasan tidak pernah ada dan didengar dalam konteks teori belajar yang sudah di akui. Kalau kita semua berfikir bahwa segala sesuatu terus berubah barangkali kita sepakat bahwa tidak ada salahnya kita memberi nama apa yang sudah kita lakukan dengan sarat semua itu tidak keluar dari esensi dan prinsip yang ada. Kita mungkin sudah pernah belajar tentang mata kuliah inovasi dan inovasi pendidikan. Maka apakah ada salahnya kalau kita berinovasi ?
Bebagai pendekatan dan metode yang sudah kita kenal sesungguhnya esensinya sama yaitu menjadikan siswa sebagai subyek pembelajaran. Akan teapi implementasi di lapangan yang sulit. Walaupun kita mengatakan diri sudah konstruktif akan tetapi sesungguhnya terkadang kita bertindak sebaliknya yaitu behavioristik. Dalam pelaksanaan pembelajaran kita hendaknya bertindak manusiawi.
Jika hal tersebut sudah dilaksanakan maka siswa akan termotivasi untuk belajar karna mereka dalam keadaan bebas dari tekanan apapun saat belajar. Hal tersebut akan berdampak pada meningkatnya kemauan siswa untuk belajar dan selanjutnya berakhir dengan hasil belajar yang memuaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar